Ketika saya bersama beberapa teman melayat ke tempat duka salah satu istri teman kerja, sebuah pelajaran berharga sungguh mencengangkan kami. Pelajaran ini sungguh berangkat dari hati terdalam rekan kerja tersebut, yang akhirnya saya memberanikan diri mengatakan bahwa inilah yang dinamakan dengan “kedewasaan iman”.
Sebelum ibadat pelayatan dimulai, rekan kerja ini menceriterakan kronologi kematian istrinya. Nyatanya istri rekan kerja ini meninggal karena kecelakaan tunggal. Saat malam minggu hendak pulang rumah, ia dan dua putrinya mengendarai satu sepeda motor. Ia bertindak sebagai pembawa kendaraan, sementara kedua anaknya duduk di belakangnya. Sementara rumah tidak jauh lagi, entah sesuatu hal terjadi, mereka kecelakaan dan ia menjadi yang terparah. Sementara kedua anaknya hanyalah luka ringan. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat, dan ternyata sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Setelah menceriterakan kronologi kecelakaan, ia yang berusaha tegar di antara anak-anaknya kemudian memberi penegasan (intinya);
Ø Kematian ini adalah rencana Tuhan yang terbaik untuknya dan keluarganya. Sehebat apapun kita, kalau itu jalan yang telah ditunjukkan Tuhan, maka itulah yang akan terjadi.
Ø Kejadian seperti ini juga bisa menjadi sebuah terguran dari Tuhan. Dalam hal ini bisa dilihat bahwa Yesus saja yang tidak bersalah, malah ia disalibkan. Mungkin saya punya sesuatu maka Ia menegurnya.
Ø Hikmah positif yang menjadi suri teladan adalah, bahwa dalam kecelakaan ini, istri lebih memilih ia yang terparah dari pada anaknya. “mungkin ia mengatakan saya sudah tua, biarlah anak-anak ini bisa mewujudkan mimpinya lagi”.
Ø Keadaan seperti ini sudah saya mulai untuk menerimanya. Walaupun di awal kejadian ini saya menangis, tetapi saya sudah menerima semua itu. Andaikan jika ia sakit, mau sampai dikursi roda pun, saya tetap merawatnya.
Setelah menyelesaikan ceriteranya, ibadat singkat pun saya mulai. Renungan yang awalnya kusiapkan sedikit agak buyar karena mendengar ceritanya yang kurang lebih persis menjadi inti renungan saya. Walaupun demikian, menjadi lebih mudah juga bagi saya mendaratkan renungan saya karena ceriteranya itu. Saya tinggal menambahkan inti sari bacaan dan kemudia saya tutup.
Di perjalanan pulang, teman-teman lain sungguh merasakan apa yang juga sara rasakan. Mereka sungguh kagum atas penerimaan rekan kerja kami yang satu ini. Saya sendiri juga tersentak dalam hati bahwa saya juga selama ini melihat rekan ini biasa-biasa saja, ternyata ia menyimpan kedewasaan iman yang mungkin meninggalkan saya beberapa langkah. Semoga cerita ini menginspirasi kita semua. Salam.
0 comments:
Posting Komentar