Just another free Blogger theme

Website ini memuat Tulisan, Refleksi, Katekese, dan Renungan dari Katekis Ingatan Sihura. Website ini kemudian merupakan bagian dari memaksimalkan media yang ada menjadi sarana pewartaan. Semoga bermanfaat. Ya'ahowu!

18/02/2022

Memasuki daerah Ono Niha atau lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Nias, sudah barang tentu tidak ada habisnya kesan tersendiri. Mulai dari objek wisata yang memanjakan hati, hingga kepada warisan budaya yang ada di dalamnya. Salah satu budaya yang paling memberi kesan adat ketimuran adalah pembicaraan yang selalu dibungkus dengan “AMAEDOLA” (Kiasan/Perumpamaan). 
Amaedola dibuat dalam setiap pembicaraan, lebih khusus dalam pembicaraan adat, bukan karena tidak ada alasan. Salah satu alasan utama yang melatarbelakangi penggunaan Amaedola dalam setiap pembicaraan di lingkungan Nono Niha adalah perasaan yang mudah tersinggung. Ono Niha dalam kesehariannya merupakan sosok yang mudah tersinggung dan cepat naik pitam. Dalam pembicaraan setiap hari, Ono Niha tidak bisa ditekan langsung. Maka, langkah yang dilakukan dalam pembicaraan adalah dengan menggunakan Amaedola.
Mengantisipasi agar orang lain tidak mudah tersinggung, pemakaian “li” (suara/kata/perkataan) menjadi unsur penting dan menentukan. Supaya orang laing tidak tersinggung, maka kata-kata yang ingin diucapkan harus lebih dahulu dibandingkan dengan diri sendiri. Tufotufoi mbeweu bulu lato, ato muhede’o (usapi dulu bibirmu dengan daun latong, barulah berkata-kata). Dari prinsip inilah kemudian lahir semboyan: “ami li moroi ba go” (perkataan lebih enak dari pada makanan). 
Amaedola sendiri diangkat dari peristiwa dan hidup harian masyarakat Ono Niha. Para orang tua yang punya kebijaksanaan atau para pemuka adat mencoba merangkai kata-kata yang sungguh memberikan pandangan yang cukup luas. Penyusunan kata atau sajak juga sangat menentukan nilai yang mau diungkapkan. Dalam pengucapan amaedola, sangatlah dibutuhkan nada yang berirama. Jika tidak, amaedola yang dikatakan tersebut hanya berlalu begitu saja.
Penggunaan Amaedola dalam setiap pembicaraan sungguh memberi seni tersendiri. Seni yang dimainkan oleh para pelaku pembicara adat, juga saling mengerti dan dengan cepat menanggapi apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Dalam hal ini, Ono Niha memberi satu kesan dengan Amaedola yang mengatakan: “ha lumo zulu ba mbaewa, ba ha hulo ho’ae ba wolaya” (hanya bayangan obor untuk belut, dan hanya bayangan kata dalam lantunan maena). Pada akhirnya, penggunaan amaedoa dalam adat istiada dan budaya Nono Niha menjadi sangatlah penting. Hal ini untuk memperlancar proses pembicaraan adat yang tidak saling menekan perasaan. Tidak hanya itu, seni yang ditampilkan pun menambah semarak dari setiap pembicaraan. Maka tidak heran ketika orang yang menjiwai amaedola dalam setiap pembicaraannya, sungguh berseni dan diminati orang.
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar