Memasuki
daerah Ono Niha atau lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Nias, sudah barang
tentu tidak ada habisnya kesan tersendiri. Mulai dari objek wisata yang
memanjakan hati, hingga kepada warisan budaya yang ada di dalamnya. Salah satu
budaya yang paling memberi kesan adat ketimuran adalah pembicaraan yang selalu
dibungkus dengan “AMAEDOLA” (Kiasan/Perumpamaan).
Amaedola dibuat dalam setiap
pembicaraan, lebih khusus dalam pembicaraan adat, bukan karena tidak ada
alasan. Salah satu alasan utama yang melatarbelakangi penggunaan Amaedola dalam setiap pembicaraan di
lingkungan Nono Niha adalah perasaan yang mudah tersinggung. Ono Niha dalam
kesehariannya merupakan sosok yang mudah tersinggung dan cepat naik pitam.
Dalam pembicaraan setiap hari, Ono Niha tidak bisa ditekan langsung. Maka,
langkah yang dilakukan dalam pembicaraan adalah dengan menggunakan Amaedola.
Mengantisipasi
agar orang lain tidak mudah tersinggung, pemakaian “li”
(suara/kata/perkataan) menjadi unsur penting dan menentukan. Supaya orang laing
tidak tersinggung, maka kata-kata yang ingin diucapkan harus lebih dahulu
dibandingkan dengan diri sendiri. Tufotufoi mbeweu bulu lato, ato muhede’o
(usapi dulu bibirmu dengan daun latong, barulah berkata-kata). Dari prinsip
inilah kemudian lahir semboyan: “ami li moroi ba go” (perkataan lebih
enak dari pada makanan).
Amaedola
sendiri diangkat dari peristiwa dan hidup harian masyarakat Ono Niha.
Para orang tua yang punya kebijaksanaan atau para pemuka adat mencoba merangkai
kata-kata yang sungguh memberikan pandangan yang cukup luas. Penyusunan kata
atau sajak juga sangat menentukan nilai yang mau diungkapkan. Dalam
pengucapan amaedola, sangatlah dibutuhkan nada yang berirama. Jika
tidak, amaedola yang dikatakan tersebut hanya berlalu begitu saja.
Penggunaan Amaedola dalam setiap pembicaraan
sungguh memberi seni tersendiri. Seni yang dimainkan oleh para pelaku pembicara
adat, juga saling mengerti dan dengan cepat menanggapi apa yang disampaikan oleh
lawan bicara. Dalam hal ini, Ono Niha memberi satu kesan dengan Amaedola yang
mengatakan: “ha lumo zulu ba mbaewa, ba
ha hulo ho’ae ba wolaya” (hanya bayangan obor untuk belut, dan hanya
bayangan kata dalam lantunan maena).
Pada akhirnya,
penggunaan amaedoa dalam adat istiada dan budaya Nono Niha menjadi sangatlah
penting. Hal ini untuk memperlancar proses pembicaraan adat yang tidak saling
menekan perasaan. Tidak hanya itu, seni yang ditampilkan pun menambah semarak
dari setiap pembicaraan. Maka tidak heran ketika orang yang menjiwai amaedola
dalam setiap pembicaraannya, sungguh berseni dan diminati orang.
0 comments:
Posting Komentar