Ilustrasi Pemberian AFO [Foto Dok. Pribadi] |
Jika tamu yang disambut adalah tamu besar, pemberian afo dilakukan dengan meriah lewat tarian sekapur sirih. Sementara jika pemberian afo dilakukan dalam kerangka pesta adat, maka pemberian afo tersebut dimulai dengan fangowai secara bergiliran beberapa perempuan dan beberapa laki-laki (adat di Kecamatan Idanogawo dan sekitarnya) atau famaolago afo ba dome (adat di Kota Gunungsitoli dan sekitarnya). Jadi, apakah Afo itu memiliki makna sehingga dijadikan menjadi bagian dari budaya?
Hingga saat ini, belum ada ditemukan dokumen atau semacam penjelasan atau pemaknaan mengenai budaya afo. Walaupun demikian, itu tidak menjadi halangan untuk mencoba melihat makna dari budaya afo. Lewat interaksi sharing bersama dengan masyarakat yang sering mengkonsumsi afo, ternyata budaya afo memiliki sejuta nilai yang tersirat di dalamnya. Salah satunya, budaya afo yang merupakan “sumange ni’a” (penghormatan yang bisa dimakan).
Sebelum lanjut lebih dalam lagi, terlebih dahulu diberitahukan bahwa kosa kata Bahasa Nias memiliki beberapa kesulitan penerjemahan. Bahasa Nias sering kali memiliki makna ganda dan dalam proses penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, kosa kata Bahasa Nias bisa saja berubah mengikuti kata yang mendahului dan kata setelahnya.
Pembahasan kali ini berfokus kepada budaya afo yang adalah sumange ni’a. Seperti diketahui pada umumnya bahwa afo itu adalah perpaduan dari lima jenis bahan; buah pinang muda, daun sirih, daun gambir, kapur sirih, dan tembakau (akan diulas dalam edisi selanjutnya). Kelima bahan dasar ini kemudian disatukan menjadi satu dan kemudian dimakan.
Kata “sumange” jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sulit didapatkan. Dalam Kamus Sederhana Bahasa Daerah Nias Indonesia yang disusun oleh Bapak HS. Zebua alias Ama Idaman Zebua, tidak menguraikan kata ini. Namun jika dipaksakan, kata “sumange” dapat diterjemahkan menjadi penghormatan atau penghargaan.
Kata “ni’a” sendiri teridiri dari dua suku kata yakni “ni” dan “a”. Kata “ni” merupakan kata depan yang bisa diterjemahkan “yang akan”. Sementara kata “a” yang hanya terdiri dari satu huruf dan itu adalah huruf vokal yang pertama, bisa diterjemahkan menjadi “makan”. Jadi, jika digabungkan, kata “ni’a” berarti “yang akan dimakan”.
Sementara itu, kata “ni’a” ini pun tidak bisa dilepas dari penggunaan tanda aksen diantaranya. Penggunaan tanda aksen ini semakin meyakinkan arti dari kata itu sendiri. Jika tidak menggunakan tanda aksen tersebut, kata tersebut mengalami perubahan makna yang jauh berbeda. Kata “sumange ni’a” jika dihilangkan aksen akan menjadi “sumangenia”. Kata “sumangenia” bisa diartikan menjadi “penghormatannya” atau “penghargaan bagi dia”.
Afo yang merupakan “sumange ni’a”, merupakan bagian yang tidak bisa dihilangkan dari penyambutan setiap tome (tamu) yang datang. Pemberian afo kepada tamu yang datang, mau menunjukkan bahwa tamu tersebut bukan lagi emali (perampok yang mengambil kepala orang) melainkan sitenga bõ’õ (bukan orang lain) atau talifusõ (saudara).
Memberi makan kepada orang yang baru datang merupakan suatu penghormatan dan penghargaan yang besar. Pemberian makanan kepada tamu, mau menunjukkan bahwa orang tersebut adalah saudara, dan lewat makan bersama tersebut, tamu itu sudah menjadi bagian dari keluarga itu sendiri. Hal inipun bukan karena tidak ada alasan, melainkan oleh karena semangat yang mengatakan: “somasi mangalui halõwõ zatua andrõ, ba yaia niha sangila mame’e gõ dome” (orang yang mau mencari pekerjaan orang tua/dewasa, adalah orang yang pintar dalam memberi makan tamu).
Walapun dikatakan afo dimakan, bukan berarti afo sampai ditelan. Tepatnya afo menjadi kunyahan yang kemudian sarinya dibuang. Afo dikatakan dimakan, karena afo memiliki cita rasa tersendiri. Cita rasa itu berasal dari perpaduan yang tepat dari orang yang membuatnya. Jika tidak dipadu dengan baik, afo bisa mencelakai orang yang mengkonsumsinya. Jika kekurangan kapur sirih, maka afo tersebut menjadi afoe (hambar). Jika kelebihan kapur sirih, maka dikatakan abõtu (istilah untuk mengatakan bahwa kelebihan kapur dan membuat mulut orang yang mengkonsumsi pecah-pecah). Selanjutnya jika kelebihan tembakau, orang yang mengkonsumsi bisa mabuk atau oyong.
Sebagai penutup dari rangkaian ulasan kali ini, adalah satu teka-teki yang biasanya dilontarkan dikalangan anak-anak. Teka-tekinya adalah: “ahori la’a ba lõ ahori latõlõ” (habis dimakan namun tidak habis ditelan). Jawaban dari teka-teki tersebut adalah tidak lain: “AFO”.
Catatan:
Artikel ini pernah dimuat di kompasiana.com : https://www.kompasiana.com/ingatan44910/60cd37c906310e37da7c9ea2/afo-sumange-ni-a-dalam-budaya-nono-niha
Artikel ini dimuat kembali di blog ini karena adanya refisi berdasarkan sumbangsih saran dan pemikiran setelah di publikasi.
0 comments:
Posting Komentar