Orang tua zaman dahulu punya kebiasaan unik: menegur tanpa memarahi, menasihati tanpa ceramah, dan menyindir tanpa harus mengangkat alis. Salah satu senjata andalan mereka adalah amaedola; ungkapan bijak yang pendek, padat, dan kalau direnungkan lama-lama, bisa bikin kita menggaruk kepala sendiri.
![]() |
| Pohon Boli [Dok. Pribadi] |
Agar tidak salah
tangkap, amaedola ini sebenarnya punya versi lengkap:
“Hulö atoru mbua mboli, i’anöröi danö wezawili” atau “bagaikan buah kayu
boli yang jatuh, ia berserak ke berbagai penjuru”. Versi pendeknya sering
dipakai, mungkin karena orang tua dulu percaya: yang terlalu panjang kadang
justru mengurangi daya pukul makna.
Sekarang mari kita lihat
dulu dengan objek utama yang digunakan dalam amaedola ini, yakni kayu boli.
Namanya sengaja dipertahankan dalam bahasa Nias, sebab sampai hari ini penulis belum
juga ditemukan padanan bahasa Indonesia yang benar-benar “mengena”. Dan memang,
ada hal-hal yang kalau diterjemahkan, rasanya malah kehilangan rohnya.
Kayu
boli ini unik. Ia tumbuh tegak, seolah gagah dan percaya diri, padahal
batangnya rapuh dan berongga. Sekali patah dan menyentuh tanah, apalagi saat
hujan rajin turun, ia cepat lapuk. Tapi
jangan remehkan: kayu ini juga terkenal bandel dalam hal hidup. Dipakai sebagai
tiang jemuran, ditancapkan ke tanah, eh malah tumbuh tunas baru. Ini ibarat mati segan, hidup pun tetap jalan.
![]() |
| Tampilan Buah Pohon Boli [Dok. Pribadi] |
Namun
pusat perhatian amaedola ini bukan pada batang atau daunnya, melainkan pada buahnya.
Buah kayu boli saat masih hijau tampak biasa saja: panjang, ramping, dan tidak
mencurigakan. Tapi ketika kering, barulah ia menunjukkan sifat aslinya. Buah
itu terbuka, dan keluarlah biji-biji tipis, pipih, dikelilingi semacam “sayap”
kertas. Ringan sekali. Kena angin sepoi saja, langsung melayang, ke kanan, ke
kiri, entah ke mana. Hampir mustahil ia jatuh tenang di pangkal pohonnya
sendiri, seperti buah-buah yang tahu asal-usul.
Di
sinilah pesan amaedola itu duduk manis sambil menyilangkan kaki.
Pohon
yang rapuh melahirkan buah yang tak kalah rapuh. Hal ini mau menyiratkan akan karya
apa pun bentuknya, yang lahir dari tekad setengah matang dan prinsip yang
samar-samar, hasilnya pun tipis dan mudah terombang-ambing. Sedikit angin kritik, langsung beterbangan. Sedikit
godaan, arah pun berubah. Tidak jelas mau ke mana, apalagi mau jadi apa.
Hulö atoru mbua mboli akhirnya bukan sekadar cerita tentang pohon dan buah,
melainkan cermin halus tentang karya dan kehidupan. Bahwa sesuatu yang tidak
ditanam dengan dasar yang kuat, tak akan pernah jatuh dengan tujuan yang jelas.
Ia hanya akan berserak ramai sebentar, lalu hilang tanpa jejak.
Pada
akhirnya, orang tua zaman dahulu dan kita saat ini pun, dengan senyum tipis dan
nada santai, cukup berkata satu kalimat saja. Sisanya, biarlah angin dan akal
sehat yang bekerja. Ya’ahowu!
Oleh
Kat. Ingatan Sihura.













