Just another free Blogger theme

Website ini memuat Tulisan, Refleksi, Katekese, dan Renungan dari Katekis Ingatan Sihura. Website ini kemudian merupakan bagian dari memaksimalkan media yang ada menjadi sarana pewartaan. Semoga bermanfaat. Ya'ahowu!

15/09/2025

PERIBAHASA TENDROMA NANGI GEU SEBUA: 

KEKUATAN DI BALIK SEBUAH TANTANGAN

Tendroma nangi geu sebua (sandaran/sasaran angin kayu/pohon besar). Demikianlah sepenggal Amaedola atau peribahasa Nias yang sering sekali diperdengarkan. Peribahasa ini sangat singkat dan serasa hanya memberitahukan sesuatu  keadaan. Namun apakah hanya sebatas demikian arti atau makna dari peribahasa ini? Tentu tidak. Pasti ada makna yang tersembunyi yang semestinya diungkapkan.

Untuk menemukan makna dari peribahasa ini, tentunya sangat baik jika melihat atau mengamati lebih dahulu objek yang digunakan. Ada dua objek yang digunakan dalam peribahasa ini; pertama adalah angi (angin) dan ke dua adalah eu sebua (eu bisa berarti kayu dan bisa juga berarti pohon. Namun dalam amaedola ini lebih tepat menggunakan pohon besar).

Angin adalah udara yang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Kendati tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun bisa dirasakan pergerakan atau hembusannya. Pergerakan angin bisa dikategorikan biasa atau sedang, sepoi-sepoi dan kencang. Bahkan dalam situasi tertentu juga ditemukan angin yang luar biasa kencang atau yang lebih dikenal dengan angin puting beliung. Angin semacam ini bisa merusak banyak hal, termasuk pohon yang besar.

Selanjutnya, pohon merupakan tanaman yang tumbuh berbatang dan berdaun. Seiring perkembangan dan pertumbuhannya, pohon semakin tinggi, semakin besar, semakin rindang dan tentunya semakin kuat atau kokoh. Pentingnya kekokohan sebuah pohon bukan tanpa alasan. Kekokohan ini ada karena untuk mengimbangi tantangan yang ada, baik dari dalam dirinya sendiri yakni menopang beratnya dan tantangan dari luar seperti terpaan angin.

Semakin besar pohon, potensinya untuk membendung atau menghalangi pergerakan angin makin kuat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pohon besar menjadi sasaran atau sandaran angin. Dengan terpaan itu juga, kekuatan sebuah pohon besar semakin diuji. Makin kuat pohon besar menahan angin yang kencang, makin kokoh dan makin diseganilah pohon itu. Dari gambaran ini tersirat makna filosofis bahwa semakin tinggi kedudukan atau semakin besar kemampuan seseorang, maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Namun justru di situlah kekuatan sejati seseorang terbentuk dan terlihat, sebagaimana pohon besar yang kokoh menghadapi badai.

Dari situasi kedua objek yang digunakan dalam peribahasa ini, sudah mulai tampak makna tersiratnya. Makna pertama yang mulai tampak adalah semakin besar sebuah objek, maka semakin besar pula tantangan yang akan ia hadapi. Makna keduanya adalah semakin besarnya sebuah objek tentu tidak diragukan lagi kekuatan yang ada di dalamnya juga sebenarnya bisa menangkis atau menahan tantangan yang ada.

Pemaknaan semacam ini kemudian menjadi refleksi mendalam bagi leluhur orang Nias zaman dahulu dengan menyamakan diri mereka layaknya pohon besar. Pemaknaan diri menjadi pohon besar mau menunjukkan beberapa indikasi, seperti:

Orang yang semakin kuat, baik dalam hal keimanan maupun dalam hal kekebalan, cobaannya akan semakin kuat. Orang Nias zaman dahulu baik sebelum mengenal agama maupun sesudah mengenal agama, memiliki keyakinan bahwa iman yang kuat itu selalu diganggu oleh hal-hal gaib atau setan. Demikian juga halnya dengan ilmu atau kekebalan. Semakin kuat orang Nias zaman dahulu memiliki kekebalan atau kekuatan, maka makin kuat juga tantangan atau lawan yang ia hadapi. Untuk itulah tidak mengherankan jika mereka harus tetap mengasah ilmu yang dimiliki. Di sinilah tampak makna religius-spiritualnya: iman yang sejati justru semakin teruji melalui cobaan. Sama seperti pohon besar tidak pernah lepas dari terpaan angin, demikian pula orang beriman tidak pernah lepas dari ujian hidup yang justru membuatnya semakin teguh.

Orang yang semakin memiliki kemapanan dan status sosial juga memiliki tantangannya sendiri. Orang yang semakin mapan dalam status sosial, akan semakin dimintai perlindungan. Dengan ini, orang yang memiliki kemapanan dalam status sosial ini menjadi penjamin bagi orang yang berstatus sosial rendah. Selanjutnya, orang yang semakin mapan dalam status keuangan juga akan menjadi sasaran untuk menjadi tempat meminjam. Efek positif dari pinjaman ini, bisa membantu orang dalam kesusahannya. Namun efek negatifnya jauh lebih besar. Bagaimana tidak, bunga dari pinjaman itu juga semakin besar, bahkan ada yang sampai dilunasi oleh cucu orang yang meminjam. Hal ini menegaskan makna sosial-budaya peribahasa ini: dalam masyarakat, orang yang besar kedudukannya dianggap sebagai penopang, penolong, bahkan sandaran. Akan tetapi, posisi itu bukan hanya kehormatan, melainkan juga tanggung jawab yang berat karena bisa saja ia dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh orang lain.

Pada akhirnya, peribahasa tendroma nangi geu sebua, bagaikan dua sisi mata uang yang punya nilai tersendiri dan bersebelahan. Walaupun demikian, orang umumnya memaknai peribahasa ini untuk memberikan peneguhan kepada orang bahwa segala sesuatu itu terjadi karena yang bersangkutan juga kuat. Dengan demikian, peribahasa ini dikenal sebagai simbol kekuatan dalam menghadapi tantangan dan godaan.

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar