PERIBAHASA TENDROMA NANGI GEU SEBUA:
KEKUATAN DI BALIK SEBUAH TANTANGAN
Tendroma nangi geu sebua (sandaran/sasaran angin kayu/pohon besar). Demikianlah sepenggal Amaedola atau peribahasa Nias yang sering sekali diperdengarkan. Peribahasa ini sangat singkat dan serasa hanya memberitahukan sesuatu keadaan. Namun apakah hanya sebatas demikian arti atau makna dari peribahasa ini? Tentu tidak. Pasti ada makna yang tersembunyi yang semestinya diungkapkan.
Untuk
menemukan makna dari peribahasa ini, tentunya sangat baik jika melihat atau
mengamati lebih dahulu objek yang digunakan. Ada dua objek yang digunakan dalam
peribahasa ini; pertama adalah angi (angin) dan ke dua adalah eu
sebua (eu bisa berarti kayu dan bisa juga berarti pohon. Namun dalam
amaedola ini lebih tepat menggunakan pohon besar).
Angin
adalah udara yang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Kendati tidak bisa
dilihat dengan mata telanjang, namun bisa dirasakan pergerakan atau
hembusannya. Pergerakan angin bisa dikategorikan biasa atau sedang, sepoi-sepoi
dan kencang. Bahkan dalam situasi tertentu juga ditemukan angin yang luar biasa
kencang atau yang lebih dikenal dengan angin puting beliung. Angin semacam ini
bisa merusak banyak hal, termasuk pohon yang besar.
Selanjutnya,
pohon merupakan tanaman yang tumbuh berbatang dan berdaun. Seiring perkembangan
dan pertumbuhannya, pohon semakin tinggi, semakin besar, semakin rindang dan
tentunya semakin kuat atau kokoh. Pentingnya kekokohan sebuah pohon bukan tanpa
alasan. Kekokohan ini ada karena untuk mengimbangi tantangan yang ada, baik
dari dalam dirinya sendiri yakni menopang beratnya dan tantangan dari luar
seperti terpaan angin.
Semakin
besar pohon, potensinya untuk membendung atau menghalangi pergerakan angin
makin kuat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pohon besar menjadi
sasaran atau sandaran angin. Dengan terpaan itu juga, kekuatan sebuah pohon besar
semakin diuji. Makin kuat pohon besar menahan angin yang kencang, makin kokoh
dan makin diseganilah pohon itu. Dari gambaran ini tersirat makna filosofis
bahwa semakin tinggi kedudukan atau semakin besar kemampuan seseorang, maka
semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Namun justru di situlah
kekuatan sejati seseorang terbentuk dan terlihat, sebagaimana pohon besar yang
kokoh menghadapi badai.
Dari
situasi kedua objek yang digunakan dalam peribahasa ini, sudah mulai tampak
makna tersiratnya. Makna pertama yang mulai tampak adalah semakin besar sebuah
objek, maka semakin besar pula tantangan yang akan ia hadapi. Makna keduanya
adalah semakin besarnya sebuah objek tentu tidak diragukan lagi kekuatan yang
ada di dalamnya juga sebenarnya bisa menangkis atau menahan tantangan yang ada.
Pemaknaan
semacam ini kemudian menjadi refleksi mendalam bagi leluhur orang Nias zaman
dahulu dengan menyamakan diri mereka layaknya pohon besar. Pemaknaan diri
menjadi pohon besar mau menunjukkan beberapa indikasi, seperti:
Orang
yang semakin kuat, baik dalam hal keimanan maupun dalam hal kekebalan,
cobaannya akan semakin kuat. Orang Nias zaman dahulu baik sebelum mengenal
agama maupun sesudah mengenal agama, memiliki keyakinan bahwa iman yang kuat
itu selalu diganggu oleh hal-hal gaib atau setan. Demikian juga halnya dengan
ilmu atau kekebalan. Semakin kuat orang Nias zaman dahulu memiliki kekebalan
atau kekuatan, maka makin kuat juga tantangan atau lawan yang ia hadapi. Untuk itulah
tidak mengherankan jika mereka harus tetap mengasah ilmu yang dimiliki. Di
sinilah tampak makna religius-spiritualnya: iman yang sejati justru semakin
teruji melalui cobaan. Sama seperti pohon besar tidak pernah lepas dari terpaan
angin, demikian pula orang beriman tidak pernah lepas dari ujian hidup yang
justru membuatnya semakin teguh.
Orang
yang semakin memiliki kemapanan dan status sosial juga memiliki tantangannya
sendiri. Orang yang semakin mapan dalam status sosial, akan semakin dimintai
perlindungan. Dengan ini, orang yang memiliki kemapanan dalam status sosial ini
menjadi penjamin bagi orang yang berstatus sosial rendah. Selanjutnya, orang yang
semakin mapan dalam status keuangan juga akan menjadi sasaran untuk menjadi
tempat meminjam. Efek positif dari pinjaman ini, bisa membantu orang dalam kesusahannya.
Namun efek negatifnya jauh lebih besar. Bagaimana tidak, bunga dari pinjaman
itu juga semakin besar, bahkan ada yang sampai dilunasi oleh cucu orang yang
meminjam. Hal ini menegaskan makna sosial-budaya peribahasa ini: dalam
masyarakat, orang yang besar kedudukannya dianggap sebagai penopang, penolong,
bahkan sandaran. Akan tetapi, posisi itu bukan hanya kehormatan, melainkan juga
tanggung jawab yang berat karena bisa saja ia dimanfaatkan atau disalahgunakan
oleh orang lain.
Pada
akhirnya, peribahasa tendroma nangi geu sebua, bagaikan dua sisi mata
uang yang punya nilai tersendiri dan bersebelahan. Walaupun demikian, orang umumnya
memaknai peribahasa ini untuk memberikan peneguhan kepada orang bahwa segala
sesuatu itu terjadi karena yang bersangkutan juga kuat. Dengan demikian, peribahasa
ini dikenal sebagai simbol kekuatan dalam menghadapi tantangan dan godaan.
0 comments:
Posting Komentar