MEMBANGUN IMAN UMAT KATOLIK DEKANAT NIAS
DENGAN MEMAKSIMALKAN KATEKESE DIGITAL
INGATAN
SIHURA
Staf
Tri Biro (Kitab Suci – Liturgi – Kateketik) Keuskupan Sibolga
Jurnal ini sudah dipublish di jurnal prosiding internasional Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Dian Mandala Gunungsitoli, Keuskupan Sibolga dalam bahasa Inggris.
Abstrak
Perkembangan teknologi digital telah mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalam Gereja Katolik. Gereja melihat
bahwa sudah waktunya dan harus berani untuk beradaptasi dengan media digital. Penelitian
ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas katekese digital dalam membangun
iman umat Katolik di Dekanat Nias, Keuskupan Sibolga. Menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif, data dikumpulkan dari 50 informan yang
terdiri dari katekis dan tenaga pengajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan media digital di Dekanat Nias cukup tinggi, tetapi pelaksanaan
katekese digital masih rendah. Meskipun tantangan seperti jaringan internet
yang tidak stabil dan kurangnya keterampilan digital ada, terdapat peluang
besar untuk memaksimalkan penggunaan media digital sebagai sarana pengajaran
iman. Oleh karena itu, Gereja perlu memberikan pelatihan dan dukungan dalam
penggunaan media digital untuk meningkatkan efektivitas katekese di kalangan
umat.
Kata Kunci:
Dekanat Nias, iman umat Katolik, katekese digital,
media digital, penelitian kualitatif.
![]() |
Ilustrasi Katekese Digital [Sumber Foto: Desain Pribadi] |
1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat
ini semakin meningkat pesat. Berbagai usaha dilakukan oleh para peneliti dan
ilmuwan, untuk menemukan hal-hal yang baru dan dikreasikan sedemikian rupa.
Semua usaha ini dilakukan untuk menunjang usaha atau untuk mempermudah
pekerjaan manusia. Salah satu bentuk yang semakin berkembang adalah proses
digitalisasi. Proses digitalisasi ini semuanya bermuara kepada alat dan media
yang digunakan oleh manusia yang semakin simpel dan bisa diakses dimana saja.
Hingga sampai saat ini, perkembangan ini ditandai dengan sebutan “era digital” (A., 2023,
hlm. 4).
Perjalanan era digital ini semakin dirasakan telah
merasuki seluruh aspek kehidupan manusia yang ada di dalamnya. Manusia sudah
mulai memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Proses interaksi dan
komunikasi lebih diminati lewat digital saja karena prosesnya yang hic et nunch dan yang jauh menjadi dekat
(Kotan,
2020, hlm. 87). Selain mudah dan cepat, orang juga bisa mengulangi
isi dari komunikasi tersebut di tempat dan situasi yang lain. Pada ujungnya,
perkembangan digital merubah budaya perjumpaan jarak jauh menjadi dekat, dan
dan melahirkan generasi yang sering disebut Generasi Net atau Generasi Z (Sugiyono,
Sugiyana, Adhi, & Kotan, 2015, hlm. 23).
Tidak terkecuali, Gereja Katolik yang merupakan bagian
dari perkembangan ini juga turut merasakan adanya perubahan itu sendiri. Dengan
prinsip “Ecclesia Semper Reformanda Est”
Gereja berusaha untuk tetap menyesuaikan diri kepada perkembangan yang ada,
walaupun ada hal-hal tertentu yang harus dipertahankan keasliannya. Dari
situasi ini Stephen Bevans, SVD lebih menekankan adanya evangelisasi baru, yang
berusaha untuk menemukan berbagai bentuk pendekatan (metode dan ungkapan)
Gereja yang bersaing dengan perubahan sosial dan budaya umatnya (Tauchner,
2015, hlm. 63).
Gereja kemudian melihat bahwa perkembangan media
digital yang ada sudah sepantasnya disyukuri sebagai suatu rahmat yang membantu
Gereja dalam menjalankan misi pewartaannya (Sugiyono
et al., 2015, hlm. 38). Rufino J. Cardinal Santos semakin menekankan bahwa
kehadiran media digital merupakan sarana yang mengantar Gereja kepada dunia dan
sebaliknya (Samosir,
2019, hlm. 77). Pandangan ini serasa mewakili apa yang telah
digaungkan dalam Konsili Vatikan kedua khususnya yang tertera dalam dokumen Inter
Mirifica khususnya nomor 1 yang memberi penekanan kepada kehidupan manusia dan
penyebaran Injil (Hardawiryana, 1993,
no. 1).
Selain memiliki dampak positif, kehadiran media
digital ini juga memiliki sisi negatifnya. Ibarat pisau bermata dua, media
digital ini juga menjadikan orang yang dekat menjadi jauh, info yang semula
hanya konsumsi pribadi bisa menjadi konsumsi publik, munculnya hoax dan pada
akhirnya perjumpaan badaniah menjadi perjumpaan virtual (Samosir,
2019, hlm. 75). Oleh karenanya, penyebaran informasi di media
digital sudah menjadi tanggung jawab bersama dengan penuh adap dan etika, serta
proses yang selektif untuk mengolah setiap informasi yang ada. Tanggung jawab
bersama inilah yang kemudian menjadi penegasan Wilfridus F. S. menutup
tulisannya perihal etika digitalisasi (Sarah, 2024, hlm. 180).
Gambaran di atas sungguh disadari juga oleh Gereja.
Untuk itu, Paus Yohanes Paulus II mendorong seluruh lapisan Gereja untuk tidak
takut menggunakan media digital. Dalam surat apostoliknya, Paus Yohanes Paulus
II bahkan menyebut media itu sebagai “Aeropagus Pertama Abad Modern”(Paus Yohanes Paulus II, 2005, no. 3). Kesadaran Gereja Akan sisi lain dari kehadiran media
digital, mendorongnya untuk memberi petunjuk penggunaan media digital ini
dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan pewartaan. Penggunaan media digital
hanyalah sebagai alat bantu dan diharapkan untuk tetap mempertahankan proses
persekutuan perjumpaan badaniah (Dewan Kepausan untuk
Promosi Evangelisasi Baru, 2020, no. 372).
Dekanat Nias yang merupakan bagian dari Keuskupan
Sibolga, hingga saat ini terus mengembangkan pewartaannya. Salah satu media
yang bisa dimaksimalkan adalah media digital. Meskipun merupakan salah satu
pulau terluar yang terpisah dari dataran Sumatera, pulau Nias sudah hampir
keseluruhan dijangkau oleh jaringan telekomunikasi. Selain itu, kepemilikan
akan alat komunikasi berbasis digital, hampir setiap rumah ada. Untuk inilah,
penulis ingin mengetahui sejauh mana efektivitas katekese digital jika ingin
dipakai di Dekanat Nias? Tentunya, efektivitas ini bisa tergambar dari hasil
yang telah ada sekarang, yakni sejauh mana telah dilaksanakan, serta kendala
apa yang dihadapi dari semuanya itu?
Hal lain yang menjadi target penelitian ini kemudian
adalah Keuskupan Sibolga yang sedang menyusun strategi Sinode III. Keuskupan
Sibolga dalam dua kali sinode, masih mencari metode pewartaannya yang cocok
untuk situasi setempat. Dalam evaluasi sinode II, akhirnya Keuskupan Sibolga
menyebut dirinya sebagai “Gereja Perjuangan”
(Hasulie, 2017, hlm.
3-6). Maka tidak Salah jika satu bentuk dan tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mencoba menawarkan model katekese digital ini dalam
sinode III Keuskupan Sibolga.
2. MetodE
Prosesnya
sendiri meliputi pengumpulan data melalui G-form. G-form digunakan sekaligus
menjadi bagian dari strategi penulis untuk mengetahui bagaimana para respon mengerti
penggunaan media digital itu juga. Kemudian data yang terkumpul
diinterpretasikan dengan cara membandingkannya dengan pandangan atau
rekomendasi dari para peneliti terdahulu. Hasil itu kemudian ditarikkan benang
merah dan kemudian menuliskannya sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian
ini.
Untuk informan
penelitian ini, penulis mencoba mengambil sampel yakni para katekis paroki di
seluruh paroki yang ada di dekanat Nias. Dari 19 Paroki yang berada di dekanat
Nias, para katekis yang menjadi informan berjumlah 35 orang. Selain para
katekis, penulis juga melibatkan perwakilan imam, para tenaga pengajar, dosen
yang membina para katekis yang keseluruhannya berjumlah 15 orang. Jadi, total
dari informan penelitian ini adalah 50 orang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah mengumpulkan data
penelitian, secercah harapan kemudian muncul karena hal yang telah digambarkan
di bagian pendahuluan mulai tampak. Data tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
3.1.
Penggunaan Media Digital.
Serasa
ingin mengonfirmasi keberadaan media digital di Dekanat Nias, penulis memulai
dengan melihat tingkat penggunaan media digital. Dari hasil penelitian,
ternyata penggunaan atau akses media digital di Dekanat Nias cukup tinggi.
Sebesar 66 % menyatakan selalu menggunakan, 30 % sering menggunakan, hanya 4 %
saja yang kadang-kadang dan 0 % yang tidak pernah menggunakan media digital.
Angka ini menunjukkan bahwa penggunaan media digital di Dekanat Nias, sudah
menjadi kebiasaan orang.
Data
di atas semakin menunjukkan bahwa wilayah Dekanat Nias sudah mulai dikatakan
daerah digital. Hal ini semakin mengonfirmasi permintaan peningkatan layanan
internet di kepulauan Nias, kepada Anggota Ombudsman RI, Jemsly Hutabarat, saat
inspeksinya di Kabupaten Nias (Perwakilan Sumatera
Utara, 2022). Dengan ini, langkah awal untuk penggunaan media
digital sebagai sarana untuk katekese di Dekanat Nias, sudah mulai terbuka.
Dengan
angka penggunaan media digital yang cukup tinggi, tentunya, ini diikuti dengan
interaksi. Orang yang menggunakan media digital, juga bertindak sebagai pelaku
interaksinya. Sebesar 54 % selalu berinteraksi, 36 % sering berinteraksi, 10 %
yang kadang-kadang berinteraksi dan 0 % yang tidak pernah berinteraksi. Data
ini cukup membuktikan penggunaan media digital itu sendiri cukup tinggi.
Dari
data ini sudah bisa dipastikan bahwa interaksi di media digital sungguh menjadi
sebuah budaya zaman now. Budaya ini menjadikan dunia hanya dalam genggaman.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat bahwa orang Indonesia bisa
bertahan sampai 9 jam di depan media digital, dan ini menduduki posisi ke 5 di
dunia. Indikator ini yang kemudian menjadikan tingkat interaksi di media
digital semakin meningkat (Devega, 2017).
Tingginya
angka interaksi di media digital ini, sungguh menjadi peluang sekaligus
tantangan. Menjadi peluang, karena orang mampu untuk mengakses serta bisa
memberikan umpan balik jika ada katekese. Namun menjadi tantangan, karena bisa
jadi orang dengan sudut pandangnya yang berbeda-beda, juga dengan leluasa
berkomentar semaunya, dan pada akhirnya menjadi lari dari pembahasan.
3.2.
Penggunaan Buku dalam Penyusunan Bahan Katekese
Digital.
Berbicara
soal penggunaan buku sebagai bahan dasar penyusunan bahan katekese digital
tentu sangat diharapkan. Namun dengan media digital yang menawarkan hal yang
instan tentu menjadi godaan tersendiri untuk tidak lagi menggunakan buku-buku
yang tentunya sudah terjadi karena adanya nihil
obstat dan imprimatur atas ajaran
yang ada dalam buku tersebut. Sebesar 36 % selalu menggunakan, 32 % sering
menggunakan, 30 % kadang-kadang dan 2 % tidak pernah lagi menggunakan buku.
Angka
di atas masih sangat relatif baik jika dibandingkan dengan tingkat literasi
yang masih ada di daerah Sumatera Utara yang di tahun 2022 masih di angka 51,69
% (Tambusay & Harefa,
2023). Walaupun demikian kesamaan angka (selalu, sering dan
kadang-kadang) yang menggunakan buku mulai meresahkan juga. Apa lagi dengan
mulai munculnya angka yang tidak lagi menggunakan buku dalam menyusun bahan
katekese. Kemunculan angka ini bisa jadi menjadi tanda mulainya kehati-hatian
akan ajaran yang dibagikan di media digital bisa “sesat pikir” atau melenceng.
Ketimbang
membaca buku yang lama untuk menemukan bahan yang ingin dicari, lebih baik
langsung searching di media digital.
Pencarian bahan katekese dengan google lebih mendekati cepat dan selalu
mendekati dengan hal yang diinginkan. Kecenderungan ini tampak juga dari data
yang didapat. Sebanyak 24 % selalu akses, 46 % sering akses, 28 % kadang-kadang
akses, dan 2 % yang tidak pernah akses.
Data
di atas sungguh mendekati sama dengan penggunaan buku. Pelaku katekese saat ini
mulai ada peralihan dari buku ke media. Buku terkesan lambat dan membosankan,
sementara dengan media hanya dalam waktu detik saja bisa didapatkan apa yang
diinginkan. Hal ini didukung dengan bagian yang pertama soal penggunaan media
digital yang semakin meningkat.
3.3.
Pelaksanaan Katekese Digital.
Setelah
melihat pelaksanaan katekese digital, diketahui bahwa sebesar 2 % yang selalu
melaksanakan katekese, 20 % sering melaksanakan katekese, 62 % kadang-kadang
melaksanakan katekese dan 16 % tidak pernah melaksanakan katekese. Dari data
ini tampak bahwa saat ini, pelaksanaan katekese digital saat ini ternyata masih
jauh dari harapan. orang hanya lebih mengedepankan aksidental saja atau
spontan.
Data
ini sekaligus mengonfirmasi bahwa daerah kepulauan Nias yang baru saja mulai
memasuki era digitalisasi. Perkembangan internet yang baru mulai menyebar luas
di sekitaran satu dekade terakhir (Fatimah, 2016). Oleh karenanya, pengguna media digital hanya mampu
untuk mengikuti atau menikmati apa yang tampil saja. Hal ini juga mengonfirmasi
bahwa para pelaku katekese digital baru saja mulai belajar untuk melaksanakan
kegiatan katekese.
Hal
ini seiring dengan tanggapan atas pelaksanaan katekese digital tersebut. Dari
data tampak bahwa sebesar 8 % yang selalu memberi tanggapan, 22 % yang sering
memberi tanggapan, 54 % yang kadang-kadang memberi tanggapan dan 16 % yang
tidak pernah memberi tanggapan. Data ini semakin menunjukkan bahwa orang hanya
melihat katekese itu serasa melihat postingan lain. Pengguna sering sekali
terbawa arus hanya untuk yang viral-viral saja (Devega, 2017).
3.4.
Sarana yang digunakan dalam Katekese Digital.
Pelaksanaan
katekese digital, saat ini di Dekanat Nias baru menggunakan beberapa platform
media sosial saja. Sebesar 40 % menggunakan halaman facebook, 40 % menggunakan WhatsApp,
8 % menggunakan Youtube, 6 %
menggunakan Website, 4 % menggunakan tiktok dan 2 % menggunakan SnackVideo. Halaman facebook dan WhatsApp
menjadi media yang dominan digunakan. Penggunaan media ini menjadi sangat
mencolok karena lewat Facebook saat
ini, orang lebih menghendaki adanya income
atau bayaran. Hal ini terdorong karena munculnya FB pro, yang memungkinkan setiap orang dapat menerima imbalan dari
postingannya jika memenuhi syarat yang telah ditentukan (SLT, 2024). Selain itu, penggunaan WhatsApp memungkinkan dengan cepat pengiriman pesan kepada orang
yang dikenal, dan juga bisa dibatasi.
Penggunaan
media ini didukung oleh sasaran dari katekese digital itu sendiri. Dari data
tampak bahwa, sebesar 22 % saran orang tua, 76 % sasaran kaum muda dan 2 %
sasaran anak-anak. Data ini menunjukkan bahwa saat ini, kaum muda menguasai
media digital. Orang tua yang kebanyakan gagap teknologi, membuat mereka
dihindari untuk menjadi sasaran katekese digital. Orang tua kebanyakan suka
katekese tatap muka atau sering diistilahkan “luring” (luar jaringan).
3.5.
Tantangan dan peluang Katekese Digital.
Tantangan
utama saat ini jika melaksanakan katekese digital adalah masalah jaringan dan
akses internet. Meskipun jaringan sudah hampir mencapai pelosok, namun
stabilitasnya masih belum cukup. Belum lagi akses internetnya yang sering
dikatakan “lola” (loding lambat). Hal ini dikatakan oleh 70 % informan. Sementara
30 % lainnya menginformasikan kurangnya pemahaman dan keterampilan digital. Hal
ini berpengaruh sangat terhadap konten katekese digital yang mau disampaikan.
Walaupun
kondisi jaring yang merata dikeluhkan, tentunya bukan menjadi alasan yang tetap
dan terus menerus. Akses akan dunia digital sebagaimana diungkap di bagian
pertama pembahasan ini, sungguh menjadi peluang yang harus dimaksimalkan.
Pemerintah sendiri secara terus menerus memperjuangkan peningkatan akan akses
internet tersebut. Peluang lain yang harus dimaksimalkan adalah dapur katekese
yang adalah Sekolah Tinggi Pastoral Dian Mandala, harus menjadi titik api dan
saran pelatihan untuk kegiatan pembekalan katekese digital.
4. KESIMPULAN
Membangun iman umat merupakan
suatu usaha Gereja dalam meningkatkan keyakinan serta kesadaran umat dalam
beriman. Usaha Gereja dalam memaksimalkan semua elemen yang ada tentu menjadi
salah satu strategi. Media digital menjadi salah satu sarana yang menjanjikan,
serta menjadi sarana strategis dan relevan untuk zaman ini. Penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat penggunaan media digital di Dekanat Nias sungguh
sangat tinggi. Meskipun masih mendapat tantangan, terutama di bidang jaringan
dan akses, itu tidak menjadi masalah karena pemerintah saat ini terus berusaha
meningkatkannya. Untuk itu, persiapan para katekis untuk terampil dalam
melaksanakan katekese digital sungguh diutamakan. Orang muda yang menjadi
pemegang kendali media digital saat ini, pasti mereka jugalah yang akan
berinteraksi ke depan. Dengan demikian, pembangunan iman umat di Dekanat Nias
di masa yang akan datang, sudah efektif dilaksanakan melalui katekese digital.
SUMBER BACAAN
A., T. A. P. N.
(Ed.). (2023). Beriman Tangguh dan Solider Katekese Membina Murid-murid
Misioner. Yogyakarta: Kanisius.
Anggito, A.,
& Setiawan, J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat:
CV Jejak.
Devega, E.
(2017). Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos.
Diambil dari 8 Agustus 2024, dari
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media
Dewan Kepausan
untuk Promosi Evangelisasi Baru. (2020). Petunjuk Untuk Katekese (Direttorio
per la Catechesi) (S. Sande, Penerj.). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI.
Fatimah, Y.
(2016). Layanan 4G LTE Telkomsel Hadir Pertama di Pulau Nias. Diambil dari 13
Agustus 2024, dari https://www.halloriau.com/read-ekonomi-83335-2016-08-17-layanan-4g-lte-telkomsel-hadir-pertama-di-pulau-nias.html
Hardawiryana, R.
(Penerjemah). (1993). Dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter
Mirifica). Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor.
Hasulie, H. T.
(Ed.). (2017). Gereja Mandiri, Solider dan Membebaskan. Maumere:
Ledalero.
Kotan, D. B.
(Ed.). (2020). Katekese Keluarga di Era Digital Hasil Pertemuan Kateketik
Antar-Keuskupan Se-Indonesia XI. Yogyakarta: Kanisius.
Paus Yohanes
Paulus II. (2005). Surat Apostolik Perkembangan Cepat (F. X. Adisusanto,
Penerj.). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Perwakilan
Sumatera Utara. (2022). Ombudsman RI Pantau Aksesibilitas Internet di Wilayah 3
T. Diambil dari 8 Agustus 2024, dari
https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkmedia--ombudsman-ri-pantau-aksesibilitas-internet-di-wilayah-3-t
Samosir, L.
(Ed.). (2019). Gereja Yang Adalah Ragi Peta Eklesiologi Menurut Dokumen KWI
Seri 2. Jakarta: Obor.
Sarah, W. V.
(2024). Towards a Just Digital Society: Shared Responsibility According to the
Catholic Church. Dalam Synergy of Catholic Ethics and AI in the Modern
Technological Landscape. International Book Chapter: Stipas Publisher.
SLT. (2024).
Cara Mengaktifkan FB Pro Agar Dapat Uang dari Konten. Diambil dari 13 Agustus
2024, dari
https://kumparan.com/how-to-tekno/cara-mengaktifkan-fb-pro-agar-dapat-uang-dari-konten-22GVPkMTk6s
Sugiyono, L.,
Sugiyana, F., Adhi, T. A. P. N., & Kotan, D. B. (2015). Hidup di Era
Digital. Yogyakarta: Kanisius.
Tambusay, M. D.
E., & Harefa, W. N. R. (2023). “Manca” untuk Literasi yang Menyenangkan.
Diambil dari 8 Agustus 2024, dari
https://balaibahasasumut.kemdikbud.go.id/2023/09/07/manca-untuk-literasi-yang-menyenangkan/
Tauchner, C.
(Ed.). (2015). Evangelisasi: Gereja Yang Bergerak Keluar Dengan Sukacita.
Maumere: Ledalero.
0 comments:
Posting Komentar