Pengantar.
Setiap orang pastilah memiliki waktu yang cukup istimewa untuk dikenang. Indah dikenang karena dalam waktu itulah diingat kembali peristiwa yang cukup berkesan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Demikianlah di awal bulan Juni ini, menjadi waktu yang istimewa untuk saya, karena di awal bulan inilah kenangan awal penziarahan di dunia ini dimulai. Untuk waktu yang istimewa ini, refleksi pribadi ini muncul.
Bercermin
dari Yesus.
Tidak selayaknya menyandingkan umur
saya sebagai manusia dengan umur Yesus yang adalah Firman yang telah menjadi
manusia (bdk. Yohanes 1:1-18). Akan tetapi, angka 33 menjadi angka yang
istimewa. Menjadi istimewa karena di angka inilah Yesus mengakhiri penziarahan-Nya
di dunia ini.
Selama penziarahan Yesus di dunia,
lebih khusus 3 tahun terakhir hidup-Nya, Ia sungguh mengisinya dengan berbagai
pewartaan kabar suka cita. Kabar suka cita Injil, secara lebih khusus
diperuntukkan-Nya kepada mereka yang miskin, terlantar, dan dikucilkan. Hingga
pada akhirnya, sikap-Nya ini dipertegas dalam amanat-Nya yang mengatakan: “Segala sesuatu yang tidak kamu lakukan
untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga
untuk Aku” (Matius 25:45). Namun di balik itu juga, tidak jarang juga Yesus
menghadapi orang-orang besar (farisi dan ahli taurat). Ia melayangkan kritikan
keras kepada mereka, namun tidak sampai untuk membangkang kepada mereka. Ia
justru menempatkan diri secara netral dengan mengatakan: “Berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, dan kepada kaisar
apa yang menjadi hak kaisar” (Matius 22:21).
Kehadiran Yesus di tengah dunia,
sungguh memberikan gambaran, figur, contoh, atau teladan bagi setiap orang
Kristen. Menempatkan diri menjadi soko guru, teman, sekaligus sahabat bagi
semua orang tentu tidaklah selalu mudah. Yesus di akhir hidup-Nya justru
menunjukkan sikap taat yang luar biasa kepada Allah. Ia dengan sikapnya yang
cukup bijaksana, justru dibalas dengan salib di atas bukit Kalvari. Walaupun demikian,
Allah sumber kebijaksanaan sejati, justru menjadikan itu semua sebagai
kemenangan yang berbuah kehidupan yang kekal. Lewat sengsara, wafat, dan
kebangkitan-Nya, Allah menunjukkan bahwa ia tidak pernah meninggalkan orang
yang setia kepada-Nya. Janji-Nya akan menyertai manusia sampai akhir zaman,
tidak pernah lekang dimakan waktu (bdk. Matius 28:20).
Melihat Cerminan
Diri.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun
berada di medan pastoral, pertanyaan paling mendasar untuk umur ini adalah “apakah
saya sudah melakukan sesuatu kepada saudara-Nya yang hina itu?” Jawaban “ya”
tentu bisa digunakan untuk menanggapi pertanyaan itu. Hanya saja, pertanyaan
lanjutannya, “apakah memang itu yang Ia harapkan?” Dengan pertanyaan lanjutan
ini, jawaban “ya” menjadi sulit untuk dibuktikan, dan pada akhirnya memunculkan
keraguan. Jika jawaban yang diberikan adalah “tidak”, lebih meragukan lagi. Hal
ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut pastilah ada sesuatu yang sudah
diperbuat, mesti masih dalam keraguan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
saya akhirnya bersama santo Fransiskus dari Asisi berkata: “Tuhan, saya belum berbuat apa-apa. Saya akan
mulai lagi”. Jawaban ini tentu menjadi satu semangat baru dalam hal
menjalankan tugas. Jika disandingkan dengan sikap Yesus terhadap orang farisi
dan ahli taurat, sungguh menjadi suatu hal yang mustahil untuk mengatakan
sanggup menghadapi hal seperti itu. Namun usaha yang senantiasa dibarui dengan semangat
dari santo Fransiskus Asisi ini, niscaya hasil tidak akan mengkhianati usaha.
Bercermin dari
Para Saudara.
Mengingat penziarahan ini sungguh
menjadi satu tanggung jawab yang harus senantiasa diperjuangkan, maka usaha untuk
membuat hal yang kecil menjadi bagian dari pertanggungjawaban yang baik. Untuk itu
kebersamaan dengan orang lain, dan menimba semangat dari para saudara yang
sudah berpengalaman, menjadi satu pembelajaran yang cukup bernas. Lewat kesatuan
dengan seluruh Umat Allah, kepenuhan dan kesempurnaan karya akan semakin nyata
dalam Kristus (bdk. LG 48).
Kehadiran para saudara, terlebih
saudara seiman, menjadi suatu kekuatan yang tiada bandingannya. Lewat para
saudara, kelemahan dalam karya dan penziarahan semakin disempurnakan. Pekerjaan
berat menjadi sangatlah ringan, beban yang sulit menjadi mudah, dan itu hanya
didapatkan ketika bersama saudara. Semboyan Nias mengatakan: “Aoha noro nilului wamahea, aoha noro
nilului wamaoso. Alisi tafadayadaya, hulu tafaewolowolo. Tafazawa na abua,
tafahea na esolo. He ha tugala he ha silimo, abua sibai na ha ya’o. ba he i awöni he eho, aoha nilului zato”.
Penutup.
Bulan Juni ini adalah bulan dimana saya dilahirkan di dunia untuk memulai penziarahan. Tidak terasa, sudah 33 tahun sudah kulalui penziarahan ini, kurang lebih sepuluh tahun berada di ladangnya Tuhan sebagai pekerja-Nya, lima tahun telah menakhodai bahtera yang kecilku dengan bantuan seorang pendamping yang tangguh, dua orang titipan-Nya dan satu yang masih dinantikan, bersama dalam para saudara dan saudari yang tidak bisa kusebut satu per satu, menjadikanku tidak pernah merasa lelah. Yesus yang sudah memberikan teladan lebih dahulu, sungguh suatu cerminan yang baik untuk senantiasa direfleksikan. Pada akhirnya aku sungguh bahagia bersama semua itu.
Gunungsitoli, 03 Juni 2024.
2 comments:
Refleksi yang bagus. Anda mengenang masa lalu dan menatap masa depan yang senantiasa di update and upgrade saat ini. Selamat ulang tahun Adik. Tuhan memberkatimu dan semua anak-anak beserta yang dinantikan. Ya'ahowu
Refleksi mendalam 🙏🙏🙏
Mantal.
Posting Komentar